Seharusnya aku tidak berangkat malam ini, namun tak ada
firasat apapun yang mengabarkan bahwa ini malam bersejarah untukku. Aku
harus menerima ini di sepertiga malam.
Pukul 11.15….
Dentuman
suara house musik dan lincahnya gerakan DJ serta temaramnya lampu
diskotik yang kerlap kerlip kadang samar kadang terang beraneka warna
semakin membawaku ke suasana bahagia yang tak bisa diungkapkan dengan
kata-kata. Jarum pendek di jam tanganku sudah menunjukan ke angka dua
belas malam, sedangkan jarum panjang sudah tepat di angka sembilan.
artinya sudah lewat tengah malam, pukul 00.45, namun suasana semakin
malam semakin gemerlap dan ramai saja, orang-orang semakin berjubel. Ada
yang menghentak-hentakkan kakinya saja, menggeleng-gelengkan kepala,
mengangguk-angguk, mengerak-gerakkan badan bahkan ada yang
menggeliat-geliatkan badannya menikmati sajian house music ditengah
temaramnya lampu yang sengaja dimainkan untuk menambah asyiknya suasana.
Pukul 01.03….
Disudut
belakang tak sedikit pria-pria yang hanya sekedar kumpul dan
duduk-duduk saja dengan ditemani perempuan-perempuan cantik dan seksi
dengan pakaian seadanya. Kepulan asap rokok dan bau alkohol yang
menyeruak rupanya semakin membawa mereka pada kenikmatan yang mereka
ciptakan sendiri. Sejam lalu aku hampir mengantuk, namun hentakan dan
kejutan-kejutan dari DJ yang malam ini sengaja didatangkan dari Ibu Kota
dan satu orang DJ bule memaksaku untuk lebih bersemangat menikmati
malam di
pub ini.
Malam ini aku dapat
special discount
karena aku dan kawan-kawanku sudah menjadi langganan diskotik terkenal
di kota gudeg ini sudah sejak setahun lalu. Walau aku masih berstatus
sebagai pelajar di sebuah sekolah menengah kejuruan, namun tak ada yang
meragukan lagi kalau aku mengaku sebagai mahasiswa,.postur tubuhku yang
tinggi,kulit bersih dan pergaulanku dengan teman-teman mahasiswa
clubber. Beberapa
event lomba
model pernah aku juarai, pergaulanku semakin luas, teman-teman dari
kalangan menengah keataspun semakin banyak. Kata orang wajahku tak kalah
dengan model dan bintang film remaja yang sedang naik daun. Tak sedikit
cewek-cewek seusiaku yang tertarik ketampananku, bahkan yang jauh
diatasku banyak yang menyatakan suka dengan kharismaku. Bangga rupanya
aku dikaruniai body dan wajah diatas pasaran. Pergaulanku luas, ramah,
solider, aku pintar berbahasa inggris dan mengerti banyak resep-resep
masakan
oriental ataupun
continental, maklum aku mengambil jurusan tata boga di sekolahku.
Pukul 01.27….
Gurauan, hentakan dan teriakan teman-temanku di
club malam ini,tak terasa telah membawaku ke pukul 01.35, saatnya aku harus mengakhiri
kongkow dan
ngedate ku di diskotik ini. Saking asiknya, aku lupa bahwa besok akau harus bantu ibu untuk membuat pesanan
cocktail dan
pudding pandan
dari langganan ibu yang akan membuat pesta ulang tahun. Ayah meninggal
dunia enam tahun tahun ibuku buka usaha kecil-kecilan buatkan pesanan
kue-kue khusus untuk pesta, oleh karenanya ibu memasukkan ku ke SMK
dengan jurusan boga, agar kelak bisa menjadi koki, pembuat kue atau
mungkin buka catering terkenal.
Pukul 01.46….
Suasana diskotik semakin ramai…harusnya aku tak kesini, namu apa daya, ajakan dan bujukan Leo, teman
clubingku
yang kuliah di perhotelan dekat sekolahku tak kuasa aku tolak. Sejak
aku kenal Leo, mahasiswa pendatang dari Palembang, banyak perubahan pada
sikap dan tingkah lakuku, aku mulai jauh dengan teman-teman dikampung
yang sejak kecil bermain dan mengaji di madrasah depan rumah, mulai
berani melanggar aturan di rumah dan kepada Ibu, mulai suka sering
keluar malam, bahkan pernah aku mengusir teman-temanku, Imran dan Bila
yang selalu mengajakku pengajian dii mesjid.
Pukul 01.50….
Semakin
larut….musik semakin berdentum,Lama kelamaan letih juga tubuhku, mataku
hampir 5 watt, mulai ngantuk juga. Akhirnya aku pamit Leo, rupanya dia
masih belum mau pulang, aku pulang sendiri dengan mengendarai motor Leo.
Dengan agak lunglai aku bergegas keluar dari diskotik tanpa
menghiraukan teman-teman yang mengajakku agar jangan cepat-cepat pulang.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Berrrrr…..berrr…
Aku
starter motor, suara knalpotnya memekakkakn telinga. Seperti setengah
sadar kukendarai motor dengan kecepatan tinggi, tak menghiraukan
kondisiku yang sedang mengantuk. Jarak dari rumahku ke diskotik ini
sekitar setengah jam, rumahku di pemukiman padat penduduk di pinggiran
selatan kota Yogyakarta. Jalanan tampak lengang dan sepi, semakin keluar
kota, suasana semakin senyap,sudah tak banyak lagi kendaraan melintas
di jalanan. Aku semakin ngebut……bahkan beberapa lampu merah aku labrak
karena tak ada kendaraan lewat, tak ada polisi pula, lagian aku biasa
dikejar polisi kalau aku dan leo naik motor di siang hari, dan tak
pernah terkejar, melanggar lampu merah rupanya hal biasa bagiku..mungkin
banyak polisi yang marah dan dendam kepadaku. Namun aku malah bangga
bisa mempermainkan mereka….maklum selera pembalap.
Seperti malam
ini, aku tak menghiraukan dinginnya malam yang menusuk kulit, aku hanya
memakai celana jeans, kaos ketat dan helem cakil saja, lagi pula tidak
ada polisi pikirku.
Berrr…suara mesin motorku semakin kencang, tak seimbang dengan mataku yang semakin ngantuk. Saat melintas di
ringroad selatan, aku kembali melabrak lampu merah sambil ku belokkan motorku dengan kencangnya…
Dan….Braaaakkkk....
Rupanya
kecepatan laju motorku tak seimbang dengan arah belokan yang terlalu
menukik. Aku terjatuh, motorku terseret sekitar 10 meteran hingga aku
terjungkal dan membentur aspal jalanan.
Braak…..
Kembali
sebuah kejutan mengantarkan kepalaku terbentur pembatas jalan, helem
cakilku pecah berkeping-keping, aku berusaha menahan kepala agar tidak
terkena benturan, namun rupanya dalam kondisi seperti ini aku
benar-benar sudah tidak bisa konsen lagi, sebuah benturan keras tepat
mengenai pelipisku hingga aku tak sadarkan diri di sepertiga malam.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Suara
ibu yang bercakap-cakap dengan seorang laki-laki di dekatku
membangunkanku dari tidak sadarku. kata ibu aku sudah sepuluh jam tidak
sadarkan diri di rumah sakit. Rupanya laki-laki tadi adalah dokter yang
menanganiku sejak aku dilarikan ke rumah sakit ketika tak sadarkan diri
akibat kecelakaan tadi malam, pelan-pelan aku membuka mata, kulihat ibu
disampingku, tangan kirinya menggenggam tanganku, sementara tangan
kanannya memegang tasbih, dari pandanganku yang agak kabur, aku melihat
mata ibu sembab, rupanya sejak aku kecelakaan ibu tak henti-hentinya
menangis sambil berdo’a. Tak jauh dari tempatku terbaring, Imran, Bila
dan Nida teman dikampungku duduk terpaku sambil membaca Al-Qur’an.
“Ya Allah…apa yang telah terjadi padaku?” berulang aku ucapkan kalimat ini dalam hatiku.
“Kemana
teman-teman clubberku? motor Leo?Oh…motor leo…dimana motor leo?” ingin
aku tanyakan pada Ibu. Namun aku tak kuasa untuk berkata-kata, kepalaku
sakit, seluruh tubuhku rasanya tak berdaya, mukaku pucat dan…pelipis
kananku memar. Daerah pelipis inilah yang paling sakit aku rasakan,
mungkin karena saat terbentur tak ada penghalang.
“Allah….Ya
Allah…aku baru ingat Allah…siapa Allah?” hatiku bergumam semakin keras,
badanku semakin sakit, tubuhku gemetaran menahan sakit. Walau sudah
habis
tiga tube cairan infuse sejak aku masuk UGD hingga sekarang.
“Ya
Tuhanku…ampuni aku…ampuni salahku…aku tak ingin meninggal dulu…aku
masih ingin membahagiakan ibu…aku belum menjadi koki handal untuk
ibuku…” dalam sadarku, aku terus berkata didalam hati.
“Ya Allah tolonglah aku….”
“Ibu
sayang kamu…Wildan…Ibu tak ingin kehilangan kamu…kamu satu-satunya
harapan dan cinta Ibu…” suara ibu parau , tangannya gemetaran
mengelus-ngelus rambutku, mungkin terlihat sangat hati-hati khawatir
menyentuh luka memar di pelipisku.
“Ya Allah….jangan ambil nyawaku…aku belum berbuat baik untuk ibu…”
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Seminggu
telah berlalu dari kecelakaan itu, selama kurun waktu itu pula aku
dirawat di rumah sakit ini, sampai akhirnya dokter merujuk agar aku
periksa dan rawat inap di rumah sakit khusus mata.
“Ya Allah…apa yang telah terjadi dengan mataku?” gumamku
“Bu,
ada syaraf antara mata dan telinga Wildan yang terputus…dan…Ibu harus
bersabar menerima kenyataan ini, ini takdir Tuhan…satu-satunya jalan
Wildan harus operasi dan jika operasi ini berhasil, tetap akan
mempengaruhi kepada penglihatan Wildan, mungkin tidak bisa normal
kembali” Dokter menyampaikan perihal itu kepada Ibu seraya terbata-bata.
Ibu tersungkur tak sadarkan diri begitu mendengar perkataan Dokter.
“Ya Allah…jangan ambil penglihatanku…”
++++++++++++++++++++++++++++
Sejak
pernyataan dokter itu, aku memutuskan untuk tidak operasi karena
berbagai pertimbangan dan ketakutanku akan kegagalan operasi, aku
memilih berobat jalan dengan harapan mataku akan kembali normal. Namun
rupanya sudah menjadi kehendak Tuhan, semakin hari penglihatanku semakin
memburuk dan…hingga suatu hari aku benar-benar tak bisa melihat, semua
disekelilingku gelap, aku tak bisa melihat lagi wajah ibu. Gelap…semua
gelap kulihat.
“Ya Allah…betapa aku sangat menyesal…telah kau ambil penglihatanku di usiaku yang masih muda…”
Berbagai
perasaan berkecamuk dalam hati, kecewa, marah,…namun aku harus marah
kepada siapa? Aku hampir putus asa, aku tak punya harapan lagi...yang
ada hanya penyesalan yang dalam. Hari-hariku diliputi perasaan rendah
diri dan malu…mau keluar rumah harus dipapah Ibu atau tetangga. Tak ada
lagi kebanggaan sebagai pria yang dulu digandrungi banyak wanita dan
setiap orang memandangku bangga.
“Ibu….terima kasih…kau
menyangiku sepenuh hati, maafkan aku tidak bisa membanggakanmu” doaku
tak henti kupanjatkan setiapa saat. Saat ini aku hanya punya Ibu yang
menemani hari-hari gelapku dan hanya bisa bekerja sebagai tukang pijat
tunanetra. Rupanya teman-teman remaja mesjid yang dulu sempat aku usir
dari rumahku karena selalu mengajakku mengaji menaruh simpati atas
penderitaanku, hingga aku dikenalkan dengan seorang Ustadz Baihaqi yang
mengajariku untuk ikhlas menerima kenyataan sebagai tunanetra. Bersama
Ustadz Baihaqi aku mulai bisa membaca
Al-Qur’an braile.
Ya..membaca Al-Quran yang tidak pernah aku baca lagi semenjak aku
beranjak remaja. Saat aku bisa melihat indahnya dunia aku sia-siakan
kesempatan ini. Dulu, saat sepertiga malam terakhir, waktu yang indah
untuk aku dekat denganNya tidak pernah aku isi doa dan munajat.
“Sekarang
aku merasa sangat dekat denganMu Tuhan…setiap waktu seperti sepertiga
malam …. sekarang aku menyesal” Do’aku tak henti-henti aku ungkapkan
saat menunggu pasien yang ingin menggunakan jasaku sebagai tukang pijat
tunanetra.
“Tuhan….Aku ikhlas Engkau ambil penglihatanku”
Kisah nyata seorang sahabat di Yogyakarta Selatan