SEKEPING RINDU UNTUK BUNDA
Oleh : Deni Aden
Kemarau panjang menyisakan dingin di malam hari,
sunyi malam di pedukuhan kian terasa ketika suara jangkrik semakin bersahut-sahutan,
satu persatu tetangga yang berjamaah sholat di mesjid pulang dan masuk ke rumahnya masing-masing.
Bakda isya di serambi rumah.
“Wandi, ini untukmu, Pakde tidak bisa memberi kamu yang lebih bagus
dari ini, ya… lumayan lah untuk dipasang didinding, dan ini sedikit air
zam-zam agar diminum Farida dan Yusuf agar jadi anak yang
pintar..he..he..” Pakde Tarto memberikan sebuah gambar ka’bah yang telah
dibingkai rapih dan siap dipajang. Sebotol plastik kecil air zam-zam
dan segenggam kurma kering dalam tas kertas.
“Terima kasih Pakde,Farida dan Yusuf pasti senang” ucapku dengan nada gembira.
“Wah, Eyang pasti naik pesawat ya ke Mekah?” Farida ikut bicara seraya menerima beberapa butir kurma dan langsung memakannya.
“Oh ya dong Farida..masa naik delman .he..he” jawab Pakde sambil bercanda.
“Eyang, Bunda juga naik pesawat loh..apa Eyang ketemu Bunda?”
pertanyaan si kecil Yusuf sedikit merubah raut wajah Pakde, namun dengan
segera Pakde Tarto menimpalinya
“ Oh ngak, Bunda kamu itu sedang kerja, jadi Eyang ngak ketemu kemarin,,”
Yusuf hanya terdiam sambil meremas-remas jemarinya. Dari wajahnya,
tampaknya dia tidak puas dengan jawaban Pakde Tarto. Pakde Tarto hanya
sekejap saja, ia segera pamit dari kami.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pakde Tarto baru saja pulang menjanlankan ibadah umroh dari tanah
suci, seperti biasanya, Pakde Tarto selalu memberikan oleh-oleh buatku
dan dua anakku kalau pulang bepergian jauh. Aku sudah menganggap Pakde
seperti Ayahku sendiri. Pakde adalah kakak dari almarhum ibu mertua yang
meninggal karena
syock saat terjadi gempa bumi dahsyat yang memporak porandakan Yogyakarta bagian selatan lima tahun lalu.
Di selatan Yogyakarta yang sepi, di sebuah Dukuh di Bantul yang jauh
dari keramaian aku tinggal bersama dua buah hatiku, Farida dan Yusuf.
Farida baru saja naik kelas 3 di Sekolah Dasar tak jauh dari rumahku,
adiknya, Yusuf, masih berusia hampir 5 tahun dan baru masuk Taman
Kanak-Kanak.
Kami tinggal bertiga di sebuah rumah bantuan pemerintah yang belum
berlangit-langit, rumah-rumah di kampung kami hampir sembilan puluh
persen rata dengan tanah saat gempa, rumah kami sangat sederhana, namun
kami merasa nyaman disini, masyarakatnya ramah-ramah dan yang
terpenting dekat dengan mesjid dan madrasah agar Farida dan Yusuf
mengenal agama sejak kecil.
Sejak 3 tahun lalu, Riyanti, istriku tercinta pergi meninggalkan kami
bertiga untuk mengais rezeki di negeri nun jauh di tanah Arab, di
Thaif, sebuah kota di Saudi arabia. Sejak saat itu pula aku harus
menggantikan posisi Riyanti bagi kedua anakku. Membuat sarapan pagi,
mencuci pakaian, menemani bermain, mengajari mengaji hingga membantu
mengerjakan pelajaran sekolah. Kehadiran Riyanti sangat berarti ketika
anak-anak sakit, demam atau ketika sangat merindukannya.
Awalnya aku tak mengizinkan riyanti bekerja sebagai tenaga kerja
wanita, karena akulah yang paling bertanggung jawab memberi nafkah untuk
istri dan anak-anakku, namun rupanya aku tak bisa menolak lagi ketika
suatu hari Riyanti menangis seraya meminta izin agar bisa membantu
meringankan beban hidup kami.
“Mas Wandi, izinkan aku untuk bisa membantu meringankan beban
keluarga, izinkan aku untuk pergi mencari nafkah untuk kita dan
anak-anak kita, aku titip Farida dan Yusuf” Itulah kata-kata terakhir
yang Riyanti ucapkan sebelum dia pergi ke Arab.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Musibah gempa Yogyakarta yang dahsyat, menyisakan kepedihan
tersendiri bagiku, aku harus rela menerima takdir sebelah kakiku lumpuh
akibat terkena reruntuhan tembok gapura di depan rumah yang roboh
akibat getaran gempa. Hingga saat ini, aku tak bisa melakukan pekerjaan
berat, jalanpunharus dipapah dengan penyangga badan. Saat ini, aku
hanya bisa bekerja sebagai pegawai administrasi di kelurahan.
Aku menikahi Riyanti 10 tahun lalu, dulu aku jatuh hati kepadanya
ketika aku menjalankan tugas KKN di Dukuh ini, aku kuliah di sebuah
perguruan tinggi terkenal di Yogyakarta, saat itu Riyanti baru lulus SMA
dan mondok di sebuah pondok pesantren tradisional di dukuh ini, orang
tuaku sendiri tinggal di Lampung. Aku memutuskan menikahi Riyanti
karena kelemah lembutan sikap dan kesahajaanya. Gadis desa yang periang
namun sopan dalam bertutur. Aku mencintainya, hingga saat ini.
Gambar ka’bah yang indah aku pasang di dinding ruang tamu, warnanya
yang terang seolah-olah menerangi ruang tamu yang sempit dengan sinar
lampu yang temaram, sebuah foto kami berempat 4 tahun lalu saat si kecil
berusia satu tahun, terbingkai indah, terpasang didinding dan sedikit
berlapis debu, aku pindah di dekat gambar ka’bah. Pandanganku
terhenti ketika kulihat gambar ka’bah yang seras hidup, tiba-tiba aku
teringat senyuman lembut istriku,
“Riyanti, aku merindukanmu..” gumamku dalam hati.
Entahlah, malam ini aku sangat merindukanya, tiba-tiba perasaan ini
muncul,menyeruak dalam dadaku, senyum tulus yang selalu tersungging dari
bibirnya terbayang jelas dimataku, betapa dia sangat sabar dan penuh
kasih sayang saat aku mendapat musibah dulu, selama hampir tiga bulan
aku tergolek lemas hingga aku harus ikhlas dengan keadaanku saat ini.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Ayah bisa bantu Farida mengerjakan PR Matematika? susah nih..”
Suara Farida yang tiba-tiba mengagetkanku.
Aku segera bergegas ke ruang tengah membantu menyelesaikan PRnya
farida, sementara Yusuf sudah teridur di sofa depan televisi, entahlah
hati ini tiba-tiba nelongso melihat Yusuf tertidur, rupanya dia sedang
merindukan ibunya. Ditangannya menggenggam mainan robot pemberian
ibunya yang di paket tiga bulan lalu dari Arab Saudi.
Malam semakin larut, angin malam yang menerobos lewat sela-sela
jendela nako terasa dingin mengantarkan kami pada sebuah kerinduan,
kerinduan kepada Riyanti nun jauh di negeri seberang.
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
Pagi hari masih terasa dingin, namun penduduk disini sudah
beraktifitas mendahului ayam jantan berkokok, masing-masing sudah
menyiapkan diri menyambut datangnya mentari dengan mempersiapkan diri
untuk bekerja,
nyambut gawe orang sini bilang.
Anggukan dan sapaan ramah para tetangga yang hilir mudik di depan
rumahku, adalah pemandangan indah yang selalu aku rasakan setiap hari,
inilah kehidupan di kampung, masih kental
tepo seliro nya.
Sedari pagi Yusuf sudah mandi dan berpakain seragam, padahal jarum
pendek masih diangka enam, Yusuf tampak semangat sekali dengan baju
seragam dan tas kecil di punggungnya, dia tampak gagah, aku jadi
teringat saat aku masih kecil dulu, mungkin seperti inilah.
“Yusuf, sepagi ini kau sudah berpakaian seragam nak..ada apa nih?”
tanyaku mengagetkannya. Dia tampak kikuk karena aku menyapanya drai belakang, Yusuf berdiri di halaman sambil menatap ke langit.
“Ayah, Yusuf sedang nunggu Bunda..” jawabanya membuatku tercengang.
“Tadi Yusuf lihat Bunda di pesawat, Yusuf mau nunggu Bunda disini,
kemarin saat Bunda telpon Bunda bilang kalau Bunda mau pulang naik
pesawat..” lanjutnya sambil terbata-bata, upanya dia kangen dengan
ibunya. Dari sudut matanya tampak dia berkaca-kaca.
“Yusuf sayang, Bunda pasti pulang, tapi tidak sekarang..pokoknya
Bunda pulang bawakan Yusuf mainan yang banyak” jawabku menghiburnya.
“Ayah..Yusuf kangeeen sama Bunda..” tiba-tiba dia berhenti dan
memelukku sambil terisak-isak menangis. Hatiku luruh, begitu rindunya
dia kepada ibunya. Aku peluk erat tubuhnya yang mungil. Ku belai
rambutnya dan ku usap air matanya yang terus mengalir dari sudut
matanya.
Hatiku semakin nelongso, terbayang jelas dalam benakku, sosok Riyanti
yang sedang bekerja membanting tulang, memeras keringat untuk kami.
“maafkan aku Riyanti, maafkan suamimu..aku tak bisa membahagiakanmu..” gumamku dalam hati.
“ayah, Yusuf pingin ketemu Bunda, main sama Bunda dan ingin diantar
sekolah sama Bunda..” entah perasaan apa yang berkecamuk didadanya,
Yusuf terus bergumam kangen dengan Ibunya.
“ya nak, kita tunggu waktunya ya..sekarang Yusuf siap-siap sekolah
aja ya” aku segera mengalihkan pembicaaran agar tidak terlalu larut
dalam sedih. Segera ku gendong Yusuf sambil kukecup keningnya. Dia
tampak terdiam.
“nanti ayah kasih tahu Yusuf ya, kalau ada pesawat lagi, Yusuf mau
lihat Bunda dari sini, ada Bunda di pesawat” Yusuf berkata
terbata-bata.
“Ya Allah, Ya Tuhanku, maafkan hamaMu ini, aku terima takdirku
seoerti ini, merawat dan membesarkan kedua buh hatiku, berilah
kebahagiaan dan kesehatan yang prima untuk istriku yang sedang berjihad
untuk kami, berilah panjang umur untuk kami bisa bertemu lagi, engkau
maha tahu segalanya, kabulkanlah Ya Allah”
Kupanjatkan do’a adalam hati, Riyanti kami merindukanmu…..
( seorang suami yang mencintaimu)